Senin, 01 Juni 2009

Siapakah Sosok di Balik  Garuda pancasila

Siapakah Sosok di Balik Garuda pancasila

_______________________________________
Oleh : Abdul Rahman M.
_______________________________________

D
ari Sabang sampai Merauke pasti mengenal lambang negara kita burung Garuda Pancasila. Gedung sekolah, Balai Bahasa, Universitas, kantor Kepala Desa, kantor Camat, kantor Bupati, kantor Gubernur, dan ruang resmi lainnya selalu ada lambang burung Garuda Pancasila. Tidak tanggung-tanggung letaknya pun sangat terhormat di apuit oleh gambar Presiden dan wakil Presiden. Banyak hal yang tersembunyi di dalam pembuatan lambang negara. Dalam pelajaran sejarah selalu ada pertanyaan-pertanyaan diantaranya, “Siapa nama presiden Republik Indonesia pertama?”. Para siswa akan menjawab dengan bersemangat “Soekarno”. Lalu jika diberi pertanyaan “ Siapa yang menjahit sang saka merah putih?” siswa pun akan menjawab “ibu Fatmawati”. Tetapi bila diberi pertanyaan “ siapakah tokoh di balik pembuatan burung Garuda Pancasila?”. Dapat dipastikan tak ada satu pun siswa yang sanggup menjawab. Bahkan sangat langka guru di kelas bertanya denga pertanyaan seperti itu. Kemungkinan besar guru sejarahnya pun tidak bisa menjawabnya. Hal ini bukanlah kesalahan guru. Kurikulum sejarah di negara ini yang harus diubah. Nasionalisme telah melahirkan kebisuan dan akan beranjak menjadi kebohongan.
Sultan Hamid II
Sejarah yang digoreskan dan diarsipkan kaum nasionalis negeri ini seperti membuang jauh-jauh nama tokoh ini. Tokoh perancang burung Garuda ini tidak sejalan dengan kemauan sebagian besar bangsa Indonesia. Revolusi dengan produk sebuah negara kesatuan adalah kemauan sebagian besar bangsa Indonesia. Federalis adalah impian sang tokoh perancang burung Garuda ini. Tokoh perancang burung Garuda ini merupakan putra Sultan Pontianak, Kalimantan Barat. Nama lengkapnya adalah syarif Abdul Hamid Alkadrie, 13 Juni 1913. Sebagai anak orang terpandang Hamid Alkadrie bersekolah di sekolah dasar anak-anak Eropa, Europe Loger School (ELS). Sekolah dasar yang dijalani Hamid Alkadrie terdapat dibeberapa kota di Indonesia pada waktu itu seperti Sukabumi, Yogyakarta, Bandung, dan Pontianak. Tamat dari ELS Hamid Alkadrie kemuadian masuk sekolah menengah Hogare Burger School. Setamatnya Hamid Alkadrie menimba ilmu di HBS langsung melanjutkan sekolahnya ke Technische Hoge School Bandung (Sekarang ITB) namun tidak sampai tamat.
Titisan sebagai anak seorang Sultan seakan-akan membuat Hamid Alkadrie termotivasi dengan `Junker` sekolah militer di Belanda yang diperuntukkan bagi anak-anak kerajaan. Hamid Alkadrie lalu masuk Koninklijk Miliatre Academic (Akademi militer Kerajaan Belanda) di Breda, negeri Belanda. Setelah menamatkan sekolah militernya di sana, Hamid Alkadrie memperoleh pangkat Letnan dua pada kesatuan KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger) yang merupakan Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Hamid Alkadrie menjadi anggota kesatuan di KNIL hingga ditawannya ia oleh tentara Jepang pada tanggal 10 Maret 1942. Pada masa-masa pendudukan Jepang di Indonesia merupakan masa-masa yang sangat sulit bagi dirnya. Ayahnya dibantai oleh tentara Jepang.
Setelah Jepang dibom atom oleh pasukan multinasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat barulah hamid Alkadrie bebas dari tawanan Jepang. Belanda pun kembali menduduki Indonesia, Hamid Alkadrie pada saat itu diberi hadiah berupa kenaikan pangkat menjadi kolonel oleh Belanda. Hamid Alkadrie merupakan orang pribumi (Indonesia) dengan pangkat tertinggi dalam KNIL.
Ketika ayahnya mangkat, 29 oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya, kemudian bergelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC, dan KMB. Pada masa, Hamid Alkadrie ditunjuk sebagai ketua dalam delegasi BFO di KMB. Dalam hal inilah mengapa banyak orang menilainya sebagai penghianat revolusi Indonesia.
Perancangan Garuda sebagai Lambang Negara
Semasa Indonesia masih bernama Republik Indonesia Serikat (RIS), Sultan Hamid II masih menjadi orang penting di pemerintahan. Dia diangkat menjadi Menteri Negara. Selama menjabat itulah sultan Hamid II diberi kepercayaan untuk merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara Indonesia nantinya. Dengan adanya perintah presiden Soekarno, tanggal 10 januari 1950 dibentuklah panitia teknis untuk membuat lambang negara dengan nama kepanitiaan “Panitia Lencana Negara”. Di mana sebagai koordinator adalah Sultan Hamid II. Susunan kepanitiaan ini terdiri dari Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantara, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabeni Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara yang mana nantinya dipilih dan diajukan kepada pemerintahan. Hingga akhirnya terpilihlah dua rancangan lambang negara. Satu karya Sultan hamid Alkadrie dan yang satu lagi karya Muhammad Yamin. Dengan pertimbangan Panitia Lencana Negara terpilihlah rancangan Sultan Hamid II. Karya Muhammad Yamin ditolak karena menyertakan lambang-lambang Jepang, yang menandakan masih ada pengaruh unsur-unsur Jepang.
Sebagai rancangan yang terpilih, dipanggillah Sultan hamid II menghadap presiden dan Soekarno dan perdana menteri Moh. Hatta. Terjadilah dialog intensif antara mereka bertiga. Maka disepakatilah untuk mengganti warna pita yang dicengkeram Garuda. Semula berwarna merah putih diganti menjadi pita berwarna putih dengan penambahan unsur “Bhineka Tunggal Ika”. Presiden Sokearno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara berupa burung Garuda kepada khalayak umum di hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Pebruari 1950. Yang mana lambang negara Garuda ini mendapat penyempurnaan lagi setelah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak.
Sultan Hamid II diberhentikan dari kabinet pada 5 April 1950 akibat dugaan bersekongkol dengan Westerling dan APRA-nya (Angkatan Perang Ratu Adil) untuk menggulingkan pemerintahan Indonesia dan menggantinya dengan negara Federal. Dalam kudeta dan konspirasi ini tidak membuahkan hasil karena digagalkan oleh Ankatan Bersenjata Republik indonesia. Setelah kejadian pemberontakan ini Sultan Hamid II bukan saja diberhentikan dari jabatan Menteri Negara tetapi ia menjadi tahanan Republik Indonesia Serikat. Sultan Hamid II menghembuskan nafas terakhirnya 30 Maret 1978 di Jakarta. Ia di makamkan di pemakaman keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.
Melihat hasil karya Sultan hamid II berupa burung Garuda sebagai lambang negara Republik Indonesia, rasanya tidak pantas dan tidak bijak mencap Sultan Hamid II sebagai penghianat dalam sejarah perjalanan Indonesia. Bagaimanapun juga dia mempunyai sumbangsih yang sangat berharga bagi bangsa ini.
Baca selengkapnya